Yogyakarta, Kompas Jumat, 2 Oktober 2009 - Batik memperoleh pengakuan internasional hari ini. Dari penelusuran sejarah, banyak bukti yang menunjukkan batik memang asli dari Jawa. Meskipun belum disebut membatik, seperti disampaikan Guru Besar Arkeologi UGM Timbul Haryono, teknik pengolahan kain tersebut telah dikenal sejak sebelum pengaruh Hindu masuk ke Nusantara sekitar Abad IV Masehi. Bukti-buktinya tertuang di sejumlah prasasti dan arca kuno.
Sejumlah prasasti dari Abad IX menyebutkan jenis-jenis kain yang diolah dengan teknik mirip batik. Salah satunya adalah Prasasti Balitung yang mengisahkan pesta di sebuah kerajaan. Setiap tamu kehormatan mendapat hadiah kain yang disebut bebet.
Deskripsi kain ini mirip dengan yang teknik yang sekarang disebut batik. "Dari bukti-bukti ini saya yakin batik asli budaya Jawa," tutur Timbul. Bukti-bukti itu dikuatkan dengan busana pada arca-arca kuno. Motif pada busana arca tersebut mirip dengan motif batik kawung yang dikenal saat ini.
Namun, asal usul kata "batik" hingga saat ini belum terlacak. Dari kemiripan bunyi, sejumlah kalangan menduga "batik" berasal dari gabungan dua kata Jawa, yakni amba dan titik, yang artinya membuat titik. Namun, belum ada bukti penguat dugaan tersebut.
Budaya membatik juga erat dengan perkembangan keraton dan kerajaan di Jawa sebagai pusat budaya. Pembatik di Giriloyo dan Karangtengah Imogiri, Bantul, mengaku keahliannya diwariskan turun-temurun. Keterampilan nenek moyang mereka didapat dari Keraton Yogyakarta. Ini tak lepas dari faktor daerah yang dekat dengan Makam Raja-raja Imogiri. "Mereka diajari orang keraton saat berziarah," kata Partinem (33), perajin di Karangrejek, Karangtengah.
Saat ini ada 30-an perajin di Karangtengah. Mereka menggunakan pewarna alam dengan dua metode, yakni batik tulis dan cap. Batik cap baru muncul belakangan karena konsumen keberatan dengan harga batik tulis. Batik tulis, misalnya, dijual minimal Rp 250.000, batik cap hanya Rp 50.000-Rp 100.000 per lembar.
Tak pengaruhi kesejahteraan
Perajin batik tradisional di Banaran, Kulon Progo, berpendapat, pengakuan batik dari UNESCO belum memperbaiki kesejahteraan. Hari ini, baik pemerintah maupun murid sekolah diminta mengenakan pakaian batik. Akan tetapi, semua ini bagi Widodo, perajin Banaran, tak akan banyak berarti bagi kesejahteraannya. Karena selama ini pasar batik di Yogyakarta dan sekitarnya lebih banyak dipenuhi kain produk Pekalongan, Solo, dan yang belakangan ini dari luar negeri, China. Semua itu dikarenakan harga yang lebih murah dibandingkan dengan batik Yogyakarta.
Yang lebih parah lagi, pasar juga dipenuhi dengan batik printing. Menurut Murdijati Gardjito, Sekretaris Umum Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad Batik, batik printing akan menghancurkan industri batik tradisional, juga mencoreng wajah Indonesia.
Harga murah merupakan daya tarik batik printing, seperti banyak dijual di sepanjang Malioboro. Wisatawan, terutama domestik, banyak membelinya sebagai oleh-oleh.
Murdijati mengemukakan, agar masyarakat mencintai batik, mereka harus diusahakan agar setiap waktu bersentuhan dengan batik. Hal ini bisa dilakukan dengan banyak cara, misalnya sebagai seragam di kantor-kantor, instansi, sekolah, kelompok masyarakat, hingga paguyuban trah. Perlu dibiasakan juga mengenakan batik tak hanya saat resepsi.
Eka Wahyu Hidayat (30), karyawan swasta berpendapat, jika bisa dikemas lebih ngetren dan tidak terlalu formal, busana batik pasti disukai. "Baju batik, kan, tidak harus 100 persen batik. Misalnya, kemeja biasa namun ada sentuhan batik di beberapa bagian," ujarnya. Ia sendiri memiliki lima kemeja batik, yang terdiri atas empat kemeja batik cap dan satu batik tulis.
Sebagai bentuk pelestarian, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY tengah mempersiapkan 150 guru batik. Setelah memperoleh pelatihan, mereka akan diterjunkan ke sejumlah sekolah, mulai dari jenjang SD hingga SLTA, untuk mengenalkan teknik membatik kepada para pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar